PENGETAHUAN TENTANG AKHIRAT (5)
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan
siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti kehidupan ini, semua orang yang
percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal
yang sering terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah
dan neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya,
"Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula
terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang
takwa." Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang
membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui - bukan
dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan pengalaman
nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam
jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa
yang menyebabkan penyakit ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan
tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa
adalah racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut
sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak
mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan
kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari
masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada
keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit)
manusia adalah sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa
ruhani. Jiwa ruhani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam
hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi
semua anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata,
mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan
untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan
sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada
dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika
penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu.
Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan jiwa ruhani
atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah.
Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia
tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau
seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan senjatanya. Kuda dan
senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia
bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika
ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia
pun merasa lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu
Rasulullah saw. bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang
diharap-harapkan oleh para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu
kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah
tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan
menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya.
Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa
tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi
berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah
berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama
dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya
sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada
tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an,
"hal-hal yang baik itu abadi." Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa
pengetahuan bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai
kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata,
"Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari
jalan yang lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang
kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal
dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah
ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman,
sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu
semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya
tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku
tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa
manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari
bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika
mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa
manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika
dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang
akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung
pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan
pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh
ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan
setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik
dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa
kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan
al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh du jalan
Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran
Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka." Tidak satukata
pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun
jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw. diriwayatkan telah bertanya
kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati
hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak.
Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka,
beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada
engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia
dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka
berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya
kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah
mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan.
Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang
berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut
indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian
telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya
dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah,
budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika
kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung
sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya
yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana
untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia
yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti:
"Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat";
"dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang
mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung
oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap
dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua oran gkafir setelah mati akan disiksa
oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran
sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya
mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa
ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa
kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan
sebelum ia mati. Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat
jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan
lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun
tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi
orang-orang yang di dlam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada
dunia ini lebih daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat
eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya,
meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi
sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?. Ambillah contoh
kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh
ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada
di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini
tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya,
menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam
api atau air untuk melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia,
yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai
ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat
mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan
kepiting-kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang
yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di
balik kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat
neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainul-yaqin)", dan
"neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan mengitari
mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika
demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena
siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai
ikatan kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada
orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka
dari cinta terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki
kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya -
masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap
benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus mereka adalah
seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yan gia cintai
di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan
di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu
lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan
banyak di antara para wali adalah orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain
yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini
demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga mereka akan harus menderita
siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum mereka sama sekali
terbebaskan daripadanya. Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi
seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya
lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan
dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak
cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu
kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis
neraka ruhani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi
yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa
dalam dirinya kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti
seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya
dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu
ketika seseorang dibangunkan untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu
dilakukannya dalam hakikat telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat
dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah
mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang
melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan
mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan
dengan perumpamaan ringkas berikut ini. Misalkan seorang raja baru selesai
merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu
pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam
keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di
samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya, ketika
kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di dalam
sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk
yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai perempuannya adalah mayat seorang
wanita tua yang mulai membusuk. Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian
kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan
serombongan tentara. Itu gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan
dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan
diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan
kegagalan untuk mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan
dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia
sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat pengumbaran nafsu
inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan penciptaannya.
Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara berikut. Misalkan seseorang sedang
melewati sebuah hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini
berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya
mengumpulkan dan membawa benda-benda itu seraya menasehatinya agar ia turut
melakukan hal yang sama. "Karena," kata mereka, "kami dengar
batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi di tempat yang akan kita
datangi." Tapi orang ini malah menertawakan mereka dan menyebut mereka
sebagai orang-orang pandir karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh
sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian
mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang
berwarna-warni itu ternyata batu-batu delima, Zamrud dan permata-permata lain
yang tak terkira harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak
mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah
dibayangkan daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang
yang ketika melalui duni aini tidak berusaha memperoleh permata-permata
kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa
dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan
rasional. Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki
penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya
terus-menerus pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada
tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif,
terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh
alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau,
meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang keempat
manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai
batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas
tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan
keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh
para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk ada pada
berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran
malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari
kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis,
"Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada
lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya.
Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak
hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan.
Tetapi seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran
malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana
disebutkan di atas oleh al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada
di dua tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu
bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya
jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu,
karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang,
ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka
berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti
orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka.
Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun
demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa
membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir
bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang
semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab,
"Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih
besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk
kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri
sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka,
mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa
depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung
keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal
itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian,
sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang
akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular
telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri
dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun orang
yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri
saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kauikatkan di
lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit." Anda boleh jadi akan
memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat
itu. Atau jika seoran gperamal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke
suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan
sembuh." Meskipun mungkin anda sedikir sekali percaya pada astrologi,
kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa
orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya
juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang
menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang
penulis jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan perjalanan
lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah
anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di
akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin
Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir
pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita
yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami
yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini
dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi
menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk
mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu
tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak
seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin
terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar