Senin, 07 Maret 2022

Teori Dan Jalur Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

 

Ada beberapa teori terkait sejarah masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia melewati perjalanan panjang dan dibawa oleh kaum muslim dari berbagai belahan bumi. Kini, Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Merunut beberapa teori yang ada, ajaran Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang dari berbagai bangsa. Sebagian dari mereka ada yang datang ke Nusantara untuk berdagang sembari berdakwah. Ada pula kaum ulama atau ahli agama yang memang datang ke Nusantara untuk mensyiarkan ajaran Islam. Terlepas dari perdebatan dan diskusi yang kemudian muncul, ke-4 teori terkait masuknya Islam di Indonesia tersebut antara lain Teori India (Gujarat), Teori Arab (Mekah), Teori Persia (Iran), dan Teori Cina.

1.      Teori India (Gujarat)

Teori yang dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto Wirjosuparto ini meyakini bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dari Gujarat, India, pada abad ke-13 Masehi. Kaum saudagar Gujarat datang melalui Selat Malaka dan menjalin kontak dengan orang-orang lokal di bagian barat Nusantara yang kemudian melahirkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Salah satu bukti yang mendukung teori ini adalah ditemukannya makam Malik As-Saleh dengan angka 1297. Nama asli Malik As-Saleh sebelum masuk Islam adalah Marah Silu. Ia merupakan pendiri Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Dikutip dari buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) karya Uka Tjandrasasmita, corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh memiliki kemiripan dengan corak batu nisan di Gujarat. Selain itu, hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin Ditemukan pula batu nisan lain di pesisir utara Sumatera bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Makam ini memiliki batu nisan serupa dari Cambay, Gujarat, dan menjadi nisan pula untuk makam Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang wafat tahun 1419.

2.      Teori Arab (Mekah)

Teori selanjutnya tentang masuknya Islam di Indonesia diperkirakan berasal dari Timur Tengah, tepatnya Arab. Teori Arab (Mekah) ini didukung oleh J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, hingga Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Menurut Buya Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Hamka dalam bukunya berjudul Sejarah Umat Islam (1997) menjelaskan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari orang-orang Arab. Bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan bahwa sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera pada 625 M.

Di kawasan yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya itu juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 M. Teori dan bukti yang dipaparkan Hamka tersebut didukung oleh T.W. Arnold yang menyatakan bahwa kaum saudagar dari Arab cukup dominan dalam aktivitas perdagangan ke wilayah Nusantara. Sebagian dari pedagang Arab tersebut kemudian menikah dengan warga lokal dan membentuk komunitas muslim. Mereka bersama-sama kemudian melakukan kegiatan dakwah Islam di berbagai wilayah di Nusantara.

3.      Teori Persia (Iran)

Teori bahwa ajaran Islam masuk ke Nusantara dari bangsa Persia (atau wilayah yang kemudian menjadi negara Iran) pada abad ke-13 Masehi didukung oleh Umar Amir Husen dan Husein Djajadiningrat. Abdurrahman Misno dalam Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia (2016) menuliskan, Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia.

Salah satu contohnya adalah seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Ada pula budaya Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatera Barat yang serupa dengan ritual di Persia setiap tanggal 10 Muharam. Akan tetapi, ajaran Islam yang masuk dari Persia kemungkinan adalah Syiah. Kesamaan tradisi tersebut serupa dengan ritual Syiah di Persia yang saat ini merujuk pada negara Iran. Teori ini cukup lemah karena mayoritas pemeluk Islam di Indonesia adalah bermazhab Sunni

4.      Teori Cina

Penyebaran Islam di Indonesia juga diperkirakan masuk dari Cina. Ajaran Islam berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Kanton pernah menjadi pusatnya para pendakwah muslim dari Cina. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M.

Diyakini bahwa Islam memasuki Nusantara bersamaan migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara. Mereka dan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan Palembang pada 879 atau abad ke-9 M. Bukti lain adalah banyak pendakwah Islam keturunan Cina yang punya pengaruh besar di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan Kemaharajaan Majapahit pada perjalanan abad ke-13 M. Sebagian dari mereka disebut Wali Songo.

Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna diungkapkan, Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang telah masuk Islam. Raden Patah yang memiliki nama Cina, Jin Bun, memimpin Demak bersama Wali Songo sejak 1500 M.

 

Jalur Masuknya Islam ke Indonesia

 

1.      Melalui Jalur Perdagangan

Di perkirakan pada abad ke 7 sampai dengan abad ke 11 Islam telah masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan begitu juga dengan perkembangannya. Oleh belaiu para saudagar dari luar maupun Indonesia sendiri, Islam disebarkan di sepanjang jalur perdagangan pada pelabuhan seperti Selat Malaka, Samudra, Palembang, disusul Demak, Cirebon, Gresik, Tuban, Makasar serta Indonesia bagian timur.

 

2.      Melalui Jalur Pernikahan

Jalur pernikahan ditempuh oleh para ulama sekitar pada abad ke 11 sampai ke 13 M. Para Saudagar muslim dari Gujurat, Arab Benggala dan yang lainnya menikah dengan orang Indonesia. Umumnya saudagar yang menikah adalah orang-orang kaya dan terpandang, sehingga para pejabat serta putri-putri raja diperistri dengan syarat harus masuk Islam terlebih dulu.

Ternyata melalui jalur pernikahan ini mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam persebaran Islam di tanah air tercinta.

 

3.      Melalui Jalur Pendidikan

Selain dari jalur perdagangan dan pernikahan, jalur pendidikan termasuk jalur yang sangat penting dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Jalur pendidikan dibentuk oleh para DAI yang memang mengabdikan dirinya untuk menyebarkan Islam ke wilayah baru.

Para DAI ini bukanlah padagang, melainkan mereka adalah para pengembara yang hanya mengembara menuju wilayah baru yang belum tersentuh Islam sama sekali dipandu oleh para pedagang hanya untuk berrdakwah. Dari para DAI inilah gerak Islam di Indonesia semakin marak.

 

Kalau pada awalnya Islam hanya di pantai-pantai sepanjang jalar perdagangan, berkah para DAI gerak dakwah Islam berkembang luas hingga ke pulau-pulau di Indonesia bagian timur.

 

4.      Melalui Jalur Akulturasi Budaya

Sekitar pada abad ke 12 sampai ke 14 M, melalui akulturasi budaya ini para DAI memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Islam sesuai dan tidak bertentangan dengan budaya meraka sehingga tidak adanya keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Misalnya seperti cara Walisongo dalam mendakwahkan Islam melalui seni lagu-lagu, permainan dan wayang.

Sebelum masuiknya Islam, di Indonesia sudah ada akulturasi budaya antara kebudayaan Indonesia dan Budaya Hindu. Namun setelah Islam masuk bersmama nilai-nilai kebudayaan, maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan antara Budaya Indonesia dengan Budaya Islam. Sehingga lahirlah ragam budaya baru dalam kebudayaan Indonesia.

Wakaf Dalam Islam

 

Wakaf Dalam Islam

 

1.      Pengertian Wakaf

Wakaf merupakan istilah dari bahasa Arab ‘waqaf’. istilah wakaf secara bahasa berarti penahanan atau larangan atau menyebabkan sesuatu berhenti. Istilah wakaf secara istilah diartikan berbeda-beda menurut pandangan ahli fiqih. Menurut Abu hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda sesuai hukum yang ada, dan menggunakan manfaatnya untuk hal-hal kebaikan, bahkan harta yang sudah diwakafkan bisa ditarik kembali oleh si pemberi wakaf. Berdasarkan definisi Abu hanifah, kepemilikan harta tidak lepas dari si wakif, pihak yang mewakafkan harta bendanya.

Mazhab hanafi menyebutkan wakaf adalah tidak melakukan tindakan atas suatu harta tersebut, yang berstatus tetap hak milik dengan memberikan manfaatnya kepada pihak tertentu baik untuk saat ini ataupun waktu yang ditentukan. Sedangkan mazhab Malik berpendapat wakaf tidak melepaskan harta yang dimiliki oleh pewakaf dan pewakaf berkewajiban untuk memberikan manfaat dari harta yang diwakafkannya dan tidak boleh menarik kembali harta yang diwakafkan.

Mazhab syafi’i berpendapat bahwa wakaf merupakan pelepasan harta dari kepemilikan melalui prosedur yang ada. Pewakaf tidak boleh melakukan suatu tindakan kepada harta yang sudah diwakafkan olehnya. Mazhab syafi’i juga membolehkan memberikan wakaf berupa benda bergerak dengan syarat barang yang diwakafkan harus memiliki manfaat yang kekal.

Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004, wakaf adalah perbuatan hukum wakif, si pemberi wakaf, untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Secara umum wakaf harus memenuhi beberapa hal utama yaitu yang memberikan wakaf dan pengelola harta wakaf harus mengalokasikan untuk amal kebaikan.

Selain itu pemberian wakaf harus bertujuan untuk beramal kepada penerima atau kelompok yang jelas. Oleh sebab itu, terdapat hukum untuk mengatur pemberian wakaf yang dibahas dalam buku Hukum Wakaf Tunai.

 

2.      Jenis-Jenis Wakaf

Wakaf memiliki banyak jenisnya. Berikut adalah jenis-jenis wakaf.

 

a.       Wakaf Ahli

Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang dilakukan kepada keluarganya dan kerabatnya. Wakaf ahli dilakukan berdasarkan hubungan darah atau nasab yang dimiliki antara wakif dan penerima wakaf. Di beberapa negara, amalan wakaf ahli ini sudah dihapus seperti di Turki, Lebanon, Syria, Mesir, Irak dan Libya. Wakaf ahli ini dihapus karena beberapa faktor seperti tekanan dari penjajah, wakaf ahli dianggap melanggar hukum ahli waris, selain itu wakaf ahli dianggap kurang memberi manfaat yang banyak untuk masyarakat umum.

Di Indonesia, wakaf ahli juga tertulis dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2006 Pasal 30. Di dalam Undang-Undang dituliskan bahwa,

 

‘Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif.’

 

‘Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.’

 

b.      Wakaf Khairi

Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Wakaf khairi adalah wakaf dimana pihak pewakaf memberikan syarat penggunaan wakafnya untuk kebaikan-kebaikan yang terus menerus seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Wakaf khairi adalah jenis wakaf untuk mereka yang tidak memiliki hubungan seperti hubungan keluarga, pertemanan atau kekerabatan antara pewakaf dan orang penerima wakaf.

c.       Wakaf Musytarak

Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut digunakan secara bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf. Wakaf musytarak ini masih diterapkan oleh beberapa negara seperti di Malaysia dan Singapura.

d.      Wakaf benda tidak bergerak

Selain wakaf di atas, wakaf juga dibagi menjadi wakaf berdasarkan jenis harta. Salah satunya adalah wakaf benda tidak bergerak. harta-harta yang dimaksud adalah bangunan, hak tanah, tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah.

e.       Wakaf benda bergerak selain uang

Ada juga wakaf benda bergerak selain uang yaitu benda-benda yang bisa berpindah seperti kendaraan. Selain itu ada juga benda yang bisa dihabiskan dan yang tidak, air, bahan bakar, surat berharga, hak kekayaan intelektual dan lain-lain.

 

3.      Hukum Wakaf

Di dalam Al-Quran dan hadits ada beberapa dalil yang menjelaskan tentang wakaf, meskipun tidak dijelaskan atau diterangkan secara jelas. Karena wakaf adalah termasuk infak di jalan Allah, maka dalil dari wakaf didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang infak di jalan Allah. Disebutkan dalam AL-Quran surat Al-Imran ayat 92 yang berbunyi,

Allah juga dijelaskan di dalam ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi,

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ

وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

 

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah ; 267)

 

Selanjutnya perumpaan wakaf atau infak di jalan Allah juga dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi,

 

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

 

Artinya : “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”

Hadits yang menjelaskan bahwa wakaf termasuk amal jariah. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, yang berbunyi,

 

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 

Artinya : “Ketika manusia meninggal, maka terputus lah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu mendoakannya.”

 

Di Indonesia sendiri, amalan wakaf sudah dilakukan oleh orang-orang Islam sebelum Indonesia merdeka. Maka dari itu pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf di Indonesia. Peraturan tersebut tercantum di dalam Undang-Undang nomor 41 Tahun 2004. Di dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan pengertian wakaf, tujuan wakaf, unsur-unsur wakaf dan tata cara pelaksanaannya dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 42 Tahun 2006.

 

4.      Keutamaan Wakaf

Tidak hanya amal bersedekah saja, amal wakaf juga memiliki manfaat di dunia dan kehidupan akhirat yang secara detail dibahas di dalam buku Fikih Zakat, Sedekah, Dan Wakaf.

 

 

Berikut adalah manfaat dari wakaf yaitu:

 

a.       Mendapatkan amal jariah

Orang yang berwakaf pahalanya akan mengalir terus menerus selama hidupnya sampai ia meninggal dunia. Hal ini dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim yang berbunyi,

 

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 

Artinya : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus lah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”

 

b.      Mempererat tali persaudaraan

Dengan mewakafkan harta yang bisa digunakan oleh masyarakat umum tentunya akan mempererat tali persaudaraan, karena sama-sama bisa menikmati sarana dari wakaf tersebut.

c.       Membantu pembangunan Negara

Harta yang diwakafkan untuk membangun sarana umum seperti masjid, sekolah, fasilitas kesehatan atau jalanan tentunya akan bisa dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh dalam pembangunan negara.

d.      Membangun jiwa sosial yang tinggi

Tidak hanya bersedekah, mewakafkan harta benda juga menjadi salah satu sarana untuk membangun jiwa sosial yang ada di diri manusia. Dengan berwakaf tentunya akan meringankan beban orang yang lebih membutuhkan.

Rabu, 29 September 2021

Gharizah

 Ghara'iz (naluri-naluri) adalah bentuk jamak dari kata gharizah yang artinya naluri. Naluri atau insting adalah potensi pada diri manusia untuk cenderung terhadap sesuatu (benda) dan perbuatan.

Gharizah adalah qadar yang diberikan langsung oleh Allah, atau bisa juga kita sebut dengan naluri dan kebutuhan yang dimiliki oleh setiap makhluk ciptaan-Nya. jika dalam kebutuhan jasmani jika tidak dapat dipenuhi akan menimbulkan kematian, namun jika gharizah (naluri) ini tidak terpenuhi, tidak akan berdampak pada kematian. Hanya saja akan menimbulkan kegelisaan dan kesempitan pada manusia.

1.      Gharizatut Tadayyun

Naluri beragama (Gharizatut Tadayyun). Penampakannya mendorong manusia untuk mensucikan sesuatu yang mereka anggap sebagai wujud dari Sang Pencipta, maka dari itu dalam diri manusia ada kecenderungan untuk beribadah kepada Allah, perasaan kurang, lemah dan membutuhkan kepada yang lainya.   Hanya saja diantara manusia banyak yang keliru dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri yang satu ini.

Contohnya diantara manusia ada yang menyembah patung-patung berhala, mensucikan atau mengagung-agungkan pohon keramat, dijawa ada khurafat “Dewi Sri, Nyi roro kidul”,mensucikan batu akik yang dipercaya dapat menolong dalam kesusahan, mensucikan kuburan-kuburan nenek moyang yang dipercaya dapat mengabulkan permohonan lebih cepat, mensucikan keris dan pusaka-pusaka jaman dahulu yang dipercaya memiliki kekuatan sakti untuk keselamatan, menyembah sesama manusia dan lain-lain.

2.      Gharizatul Baqa

Naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa). Penampakanya mendorong manusia untuk melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka melestarikan kelangsungan hidup. Contohnya pada kehidupan sehari-hari adalah naluri untuk mempertahan diri dari ancaman luar seperti binatang buas, penjahat, atau hal-hal lain yang mengancam dirinya. Bentuk dari pertahanan dirinya adalah saat timbul rasa untuk melawan ataupun melarikan diri dari setiap bahaya agar tetap bertahan hidup.

Untuk lebih jelasnya seperti pada saat menghadapi anjing maka secara spontan kita akan mengambil batu disekitar untuk melawan atau memilih melarikan diri dengan berlari sekencang-kencangnya demi keselamatan diri. Pada saat melawan penjahat, jika merasa memiliki kemungkinan menang maka kita akan bertahan dan menghadapinya namun pada saat tidak ada kemungknan untuk menang, kita akan memilih untuk mundur atau menyerah agar tidak tersakiti. Hal itu juga merupakan bentuk dari pertahanan diri untuk kelangsungan hidup.

Contoh lain yakni pada saat mempertahankan pendirian atau argumen dalam forum diskusi untuk melindungi kepentingan diri atau bersama, terutama jika itu berkaitan dengan hal hal yang menyangkut kelangsungan hidup kedepannya.

3.      Gharizatun nau’

Naluri melangsungkan keturunan (Gharizatun nau’). Penampakanya akan mendorong manusia melangsungkan jenis manusia. Sebagai penampakan dari naluri ini, manusia memiliki kecenderungan seksual, rasa kebapakkan, rasa keibuan, cinta pada anak2, cinta pada orang tua, cinta pada orang lain dan lain-lain.

Contohnya pada kehidupan sehari-hari adalah seorang ayah yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, seorang ibu yang sangat menyayangi dan melindungi anakanaknya. Seorang laki-lak yang memiliki perasaan suka pada lawan jenis. Adanya naluri ini telah banyak diisyaratkan dalam Al-Quran.  


Senin, 27 September 2021

Sikap Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari

 

Toleransi adalah sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar individu maupun kelompok. Untuk menghadirkan perdamaian dalam keberagaman, perlu menerapkan sikap toleransi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berasal dari kata 'toleran' yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, 'tolerare' yang artinya sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri.

Berdasarkan arti secara bahasa, toleransi dapat dimaknai sebagai kemampuan setiap orang untuk bersabar dan menahan diri terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengannya.

Dalam kehidupan sehari-hari toleransi biasanya dikaitkan dengan perbedaan agama atau kepercayaan. Namun, toleransi bisa juga dihubungkan dengan perbedaan lainnya, seperti suku, ras, hingga warna kulit.

Dengan adanya sikap toleransi, konflik dan perpecahan antarindividu maupun kelompok tidak akan terjadi. Banyak orang menyebut toleransi sebagai kunci utama perdamaian yang patut dijaga.

Hal tersebut penting untuk diperhatikan mengingat bangsa Indonesia mempunyai latar belakang perbedaan yang beragam, mulai keyakian, suku, ras, hingga warna kulit.

 

1.      Sikap Toleransi dalam Beragama

a.       Menghormati hak dan kewajiban umat agama lain.

b.      Berteman dengan teman-teman tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaannya.

c.       Tidak menghalangi umat agama lain yang sedang beribadah.

d.      Tidak memaksakan ajaran dan kepercayaan agama kita kepada orang yang lain agamanya.

e.       Menghargai hari besar umat agama lainnya.

f.       Menumbuhkan kerukunan dan perdamaian antarumat beragama.

g.      Menghormati Muslim yang berpuasa dengan tidak makan atau minum di depannya.

h.      Tidak mengolok-olok ajaran agama lain.

i.        Membantu sesama masyarakat tanpa melihat latar belakang agamanya.

j.        Tidak mencampuraduk akidah dalam beribadah antarmasyarakat yang berbeda agama dengan embel-embel toleransi.

k.      Tidak mempersekusi umat agama lain yang beribadah.

 

2.      Sikap Toleransi di Rumah

a.       Saling menyayangi antaranggota keluarga di rumah.

b.      Anak-anak harus berbakti pada kedua orang tua di rumah.

c.       Menghargai pendapat dan pemikiran dari anggota keluarga lain.

d.      Menghormati anggota keluarga yang lebih tua, misalnya adik menghormati kakak dan anak menghormati orang tua.

e.       Menjalankan peran dalam keluarga dengan baik.

f.       Saling membantu antaranggota keluarga jika ada yang kesusahan.

g.      Mengajarkan pendidikan moral dan agama pada anak-anak di rumah sejak kecil.

h.      Tidak memaksakan keinginan pada anggota keluarga lain.

i.        Menghargai anggota keluarga yang berbeda agama dan kepercayaan.

j.        Orang tua harus perhatian dan menyayangi anak-anaknya.

3.      Sikap Toleransi di Sekolah

a.       Tidak memilih-milih teman berdasarkan agama dan sukunya.

b.      Sekolah memberi pendidikan agama sesuai agama tiap-tiap siswa.

c.       Berbuat baik kepada semua teman tanpa terkecuali.

d.      Tiap siswa diperbolehkan untuk berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masing.

e.       Menghormati teman agama lain yang berdoa atau beribadah.

f.       Tidak mengolok-olok siswa lain yang berbeda agama atau sukunya.

g.      Menghormati guru dan tenaga didik lain yang lebih tua.

h.      Memberi waktu bagi siswa untuk menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing.

i.        Menjenguk teman yang sedang sakit.

4.      Sikap Toleransi di Masyarakat

a.       Berbuat baik kepada tetangga tanpa membeda-bedakan suku dan agamanya.

b.      Ikut serta dalam kerja bakti desa secara rutin.

c.       Menghormati orang dari agama lain yang sedang beribadah.

d.      Menghargai pendapat warga lain yang berlainan ketika mengadakan rapat atau musyawarah.

e.       Memberi bantuan terhadap korban bencana alam yang sedang membutuhkan tanpa melihat latar belakang agamanya.

f.       Tidak mengganggu peribadatan agama lain

g.      Menghormati adat istiadat yang berkembang di masyarakat.

h.      Bersikap sopan santn pada warga lain yang lebih tua.

i.        Tidak memancing konflik SARA antarsuku atau agama, senantiasa menjaga kerukunan.

j.        Menjalankan dan mematuhi aturan yang diterapkan di lingkungan masyarakat.