PARADIGMA DASAR
FENOMENOLOGIS
HERMENEUTIKA DAN TEORI
KRITIS
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Paradigma
penelitian, khususnya dalam ilmu sosial merupakan rerangka berfikir yang
menjelaskan cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial. Paradigma
penelitian penjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah penelitian,
dan kriteria
pengujian yang digunakan sebagai dasar dalam menjawab masalah penelitian.
Secara ekstrim paradigma penelitian dapat dibedakan kedalam paradigma
positivisme dan paradigma non-positivisme. Kedua paradigma tersebut dalam
penelitian sering disederhanakan menjadi paradigma kuantitatif dan kualitatif,
walaupun kenyataannya terdapat penelitian kualitatif yang berlandaskan pada
paradigma positivisme.
Fenomenologi dan hermenutika dan teori kritis telah menjadi populer dewasa ini. ketiganya memiliki
karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan
permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman
yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi pada masalah-masalah yang
muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai
realita yang eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya
yang mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga
mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Teori Kritis
merupakan pendekatan ketiga setelah fenomenologi dan hermeneutika yang berusaha
mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial dan memberika dasar metodologis bagi ilmu-ilmu sosial, yang berbeda dari
ilmu-ilmu alam. Ketiga pendekatan ini memiliki keterkaitan, baik pada taraf
epistemologis maupun metodologis untuk membuka konteks yang lebih luas dari
ilmu-ilmu sosial. yang berbeda dari ilmu-ilmu sosial.
Konsep dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang merupakan konsep
penting dari fenomenologi dan metode pemahaman (verstehen) sebagai
metode khas dari hermeneutika memiliki sumbangan yang nyata bagi bangunan Teori
Kritis, yang dalam praksisnya tercemin dalam apa yang dikenal dengan ‘tindakan
komunikatif’ (kommunikativer handlen, communicative action).
Sebelum melakukan perbandingan, saya mencoba memaparkan
secara singkat asal muasal pemikiran dan tokoh-tokoh yang berpengaruh
dibelakang “kesuksesan” epistemologi tersebut serta pokok-pokok pikirannya, ini
dimaksudkan supaya lebih mudah untuk membandingkannya keduanya.
B. Pokok Bahasan
1. Pengertian Fenomenologis,
Hermeneutika Dan Teori Kritis
2. Pemikiran
tokoh-tokoh Fenomenologis, Hermeneutika Dan Teori Kritis
3. Perbedaan
dan persamaan Fenomenologis, Hermeneutika Dan Teori Kritis
C.
Tujuan pembahasan
1. Memahami pengertian Fenomenologis,
Hermeneutika Dan Teori Kritis
2. Mengetahui tokoh-tokoh Fenomenologis,
Hermeneutika Dan Teori Kritis dan pemikirannya
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan
dasar Fenomenologis,
Hermeneutika Dan Teori Kritis
PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma dasar Fenomenologis,
Hermeneutika Dan Teori Kritis
Paradigma menurut Thomas Kuhn dipergunakan dalam dua arti
yang berbeda yakni paradigma berarti
keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota masyarakat tertentu. Di sisi lain paradigma juga berarti menunjukkan pada sejenis
unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkret, yang jika digunakan sebagai model
atau contoh dapat menggantikan
kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang
normal yang masih tertinggal [1]
Menurut
Denzin dan Lincoln ([2] paradigma dipandang sebagai
seperangkat keyakinan-keyakinan dasar (basic
believes) yang berhubungan dengan yang pokok atau prinsip. Paradigma adalah
representasi yang menggambarkan tentang alam semesta (world). Sifat alam
semesta adalah tempat individu-individu berada di dalamnya, dan ada jarak
hubungan yang mungkin pada alam semesta dengan bagian-bagiannya.
Kata
fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainesthai yang berarti
“menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”.[3] Pada literatur lain ia berasal dari
kata Yunani phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena
bercakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi,
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu
yang menampakkan diri.[4]
Munculnya
fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl, yang memperkembangkan aliran
ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut
prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada
pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek
harus melepaskan atau – menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda kurung
semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta
dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya
Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia
dalam berilmu pengetahuan tidak
lepas
dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun
dalam membuat kesimpulan. Soetrisno dan Hanafi [5] menjelaskan apabila
ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigm interpretif, prinsip
dasar dalam membaca fenomena, adalah:
1. Individu
menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada dilingkungannya berdasarkan makna
sesuatu tersebut pada dirinya;
2. Makna
tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu
lain; dan
3. Makna
tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif
yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.
Dari
semua uraian di atas dapatlah dikemukakan bagaimana seseorang mengembangkan dan
menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan melihat cara pandang yang
digunakan dalam menjawab lima pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi,
epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi
Istilah
“hermeneutika” (bahasa Inggris: hermeneutics) berasal dari ”hermeneuein”
(Yunani) yang diambil dari kata hermeneia yang secara harfiah berarti
penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata
ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan
pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes [6], hermeneutika
memiliki unsur tiga yaitu : pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang
diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan kepada manusia, dan
penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu,
hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of
interpretation).
[7]
Adapun
logika hermeneutik termasuk logika linguistik semantik. Pemaknaan hermeneutik
konvensional berdasar sumber tunggal. Sumber tunggal yang linguistik adalah
struktur bahasa, adapun yang sosial adalah struktur social.[8] .
Teori Kritis
merupakan pendekatan ketiga setelah fenomenologi dan hermeneutika yang berusaha
mengatasi positivism dalam ilmu-ilmu
sosial dan memberika dasar metodologis bagi ilmu-ilmu sosial, yang berbeda dari
ilmu-ilmu alam
Teori kritis
adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik
dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna
dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi
dan yang kedua berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan
sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas
kritik; dengan demikian, teori Max
Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha
"untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka."[9]
Teori Kritis
merupakan ‘paradigma’ keilmuan yang dilahirkan oleh para filusuf yang tergabung
dalam mazhab Frankfurt, di Jerman. sebagai salah seorang filusuf ‘generasi
kedua’ yang pemikiranya menjadi fokus pembahasan ini. sebagai penerus filsafat
kritis Marx, sudah tentu pemikiran mereka bercorak Marxian, dalam hal ini
kritik sosial dan kritik ideology. Sama dengan Marxis, sasaran kritik teori kritik adalah pola liberalisme-kapitalisme
masyarakat Barat-modern. Meskipun kemudian juga gencar melakukan kritik
terhadap pola-pola Marxisme sendiri, terutama soal determinisme ekonomi
Marxisme ortodoks, yang ternyata lahir dari pemahaman positivistis atas
proses-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat berlangsung
menurut keniscayaan hukum-hukum alam.
B. Pemikiran
dan Tokoh
Fenomenologis, Hermeneutika Dan Teori Kritis dan pemikirannya
Fenomena seperti dijelaskan
sebelumnya adalah menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari,kita tidak
memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup
meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata, kita telah
meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang di tuju oleh
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya
dapat di capai dengan”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita anggap
sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di tinggalkan
atau di buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan. Termasuk di
dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang
telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena)
sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri.
Dengan kata
lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena dengan apa
yang ada dalam pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berjalan apa
adanya. Karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman
indrawi yang bersifat relatif subjektif sedangkan fenomena adalah realitas yang
bersifat objektif.
Dari uraian di
atas bisa dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon
atau apa saja yang nampak, tanpa harus dipengaruhi tanpa harus dipengaruhi oleh
apapun. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala
yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Adapun tokoh-tokoh yang mengikuti
teori ini antara lain :
1. Edmund Husserl
(1859-1938)
Husserl menyebut fenomenologi merupakan metode dan ajaran
filsafat. Sebagai metode, fenemenologi membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus
dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada
“kesadaran yang murni”. Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang
perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus
dikembalikan kembali objek tersebut.
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche
bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu.
2. Max Scheler
(1874-1928)
Scheler menyebutkan bahwa metode fenomenologi sama dengan satu
cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap
suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi
dll). Dalam hubungan ini diperlukan hubungan langsung dengan realitas
berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Ajaran Scheler terfokus kepada tiga hal yang mempunyai
peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu: (1) fakta natural, (2)
fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari
pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman
biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung
dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang
merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya
realisasi di luar.
Hermeneutik
merupakan metode yang menjadi dasar sangat penting dan mewarnai penelitian
kualitatif dengan paradigma interpretif. Smith (dalam Sutopo ) [10]
menyatakan hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan
dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya kita melakukan interpretasi atas
interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap
situasi mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pola pikir fenomenologi yang
melihat makna dari pandangan subyek yang dikaji. Setiap peristiwa atau karya
memiliki makna dari interpretasi para pelaku atau pembuatnya. Karya atau
peristiwa yang merupakan interpretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya
menghadapi pembaca atau pengamatnya, dan ditangkap dengan interpretasi pula,
tokoh-tokoh teori ini antara lain Friederich
Sehleiermacher , Husser, Heideger, dan
Ricoeur.
Dalam pandangan Friederich
Sehleiermacher
menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
a.
Penafsiran
gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk
batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur
b.
Penafsiran
psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan
teks dan kegiatan sosial.[11]
Sedangkan
Husserl mengembangkan hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi.
Baginya ada 3 pendapat mengenai konsep hermeneutika.,yakni:
a. Hasil sebuah penafsiran haruslah
bebas dari relativitas historis dan perubahan social.
b. Kesadaran harus bebas dari dugaan
supaya diperoleh kebenaran mandiri.
c. Data yang bersifat apa adanya harus
dibuang
Menurut
pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada
(mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar
bagi eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan
social dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam
bahasa. [12]
Dalam
perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya dengan
berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole
serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan
kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:
a.
Teks selalu mengalami pelepasan
konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya semula, karena itu teks
selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas.
b.
Teks merupakan suatu langue
dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap
sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan
linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks
adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan.
c.
Penafsiran merupakan proses dinamis
yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses
negosiasi dan debat. [13]
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan
filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman
pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx
dan Sigmund Freud.
Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia.[14] Teori Kritis
didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori
Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor
Adorno, Max Horkheimer, Walter
Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah
bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio
Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen
Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoritis
dalam idealisme Jerman, dan
berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap
"dasar dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari
konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer. [15]
Fakta menunjukkan
bahwa paradigma
kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari
warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak
merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx
dan Engels [16]
Teori kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya
untuk menyerang pandangan yang telah ada. Pandangan lama menga-takan bahwa Ilmu
pengetahuan harus dibangun dengan dasar objek-tivitas, bebas nilai (value
free), netral sebagaimana doktrin positivisme.
Teori kritis
menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial.
Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris
dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran,
moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat.
Dengan tetap mempertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi
filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian
sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam
konteks kekinian.
C. Perbedaan
dan persamaan Fenomenologis, Hermeneutika Dan Teori Kritis
Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai
jenis pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi,
keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial
termasuk aktivitas berbahasa.
Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia,
jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka
bahasa menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada
makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini
memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial
dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan
dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan
atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya
memuat makna yang dapat diungkap.
Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat
tidak dengan menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara
aktif terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya
melalui bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut.
Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna (create
a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga
mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa
pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati.
Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek
menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk
memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema).
Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan
linguistik yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan
sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi
hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk
memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip
yang mendasari proses penafsiran.
Raharjo (2011)[17] menggunakan
analogi sebuah permainan dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu
yang bersifat linguistik. Pengalaman seni yang dimaksud adalah yang mengandung
unsur permainan. Ketika seseorang mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu
ia memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak langsung,
kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari medium linguistik.
Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya juga melalui medium
linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati
subjek, baik sebagai pameran maupun penonton.
Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan
sebagai teori pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan
dengan pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat
pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada
masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya
membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan
ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi.
Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi
terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam
fenomenologi, oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus
kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan
yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt,
dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi
kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis.
Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang
memungkinkan subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan
kepemilikannya akan tradisi historis.
Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya
tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan
menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain
fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada dengan
pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya. Hal ini
disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman
indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang
bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam menjalankan
tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks, prinsip, religius,
moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan beberapa kaidah
tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna.
Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan
hermeneutika jelas sangat berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy,
dengan pertanyaan utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas
gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar
dari teologi, filsafat, dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa
kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang
memungkinkan penafsiran makna?”
Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan
hermeneutika juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan
kelemahan tersebut bisa dilihat di bawah ini.
Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah
fenemenologi sebagai suatu metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena
dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan
pandangan.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri”
lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu
konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.
Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya
harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri
dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau
sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan
sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang
konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Kekuatan fenomenologi lainnya adalah dapat
mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data.
Aneka macam teori dan pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu,
ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran
benar-benar objektif.
Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari
kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri.
Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa
ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu
pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui
bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free),
tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida
yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan
implikasi filosofis status pengetahuan[24].
Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi
harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh
karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai
akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku
pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu.
Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat
digenaralisasi.
Sementara teori kritis merupakan menghubungkan ilmu-ilmu sosial
yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim
normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional
merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap mempertahankan penekanan terhadap
normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya
dalam konteks jenis penelitian sosial empiris .
PENUTUP
Dari uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan.
Fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang
berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu
“intervensi” oleh apapun dan siapapun. Terlepas dari kelebihan dan
kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi
dunia ilmu pengetahuan, mengatasi krisis metodologi, dan mampu menjadi sebuah
disiplin ilmu yang mempengaruhinya.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara
kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh
konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat).
Hermeneutika yang awalnya “hanya” interpretasi terhadap
teks-teks kitab suci, dalam perkembangannya semakin melebarkan sayapnya hingga
ke bidang-bidang lainnya dalam ilmu sosial: filologi, dassein dan
pemahaman eksistensial, Interpretasi, dan sistem penafsiran
Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh
Ricoeur. Fenemenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi
oleh hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan”
bagi hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan
programnya dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.
Sementara
tujuan teori
kritis adalah
menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan
persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara
terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang
ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan
persamaan
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, B, K. . 1981,
Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta : PT. Gramedia.
Budi F Hardiman,
2002,
Melampaui Positivisme dan Modernitas.Yogyakarta: Kanisius.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis, diakses tanggal 21 Oktober 2014
Muhammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar paradigma dan
kerangka teori ilmu pengetahuan ,Yogyakarta:
Belukar.
Mohammad
Muslih. 2000. Filsafat
Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan
Soetrisno dan Rita Hanafie, 2004, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Jember: Universitas
Jember.
Syamsuddin
Sahiron, dkk. 2003, Hermeneutika al-Qur'an, Jogjakarta, Islamika.
Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake Sarasi.
Norman K. Denzim,
and Lincoln, Yvonna S.(Editor). 2005. Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.
Palmer,
R.E. 1969. Hermeneutiks:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston,
III : Northwestern Univ. Press.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya?
(http://mudjiarahardjo.com/ artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html
diakses pada 22 Desember 2014)
Sutopo, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Svara Mahardika, http://kritisfrombali.blogspot.com/2011/06/tokoh-tokoh-hermeneutika.html,
diakses tanggal,
22 Oktober 2014
Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. diakses tanggal, 22 Oktober 2014
5 Soetrisno dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian (Jember: Penerbit Universitas Jember, 2004), 3.
11 Palmer, R.E. Hermeneutiks: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, III : Northwestern Univ. Press, 1969), 30.
13 Svara Mahardika, http://kritisfrombali.blogspot.com/2011/06/tokoh-tokoh-hermeneutika.html,
diakses tanggal, 22 Oktober 2014
15
Wikipedia bahasa Indonesia ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar