Perkawinan
memainkan peran yang besar dalam kehidupan manusia, sehingga ia perlu
diperhitungkan dalam membahas soal kehidupan keagamaan dan dibicarakan dalam
dua aspeknya, yaitu keuntungan dan kerugiannya.
Mengetahui
bahwa Allah, sebagaimana kata al-Qur'an, "Hanya menciptakan manusia dan
jin untuk beribadah," maka keuntungan yang pertama dan nyata dalam
perkawinan adalah bahwa para penyembah Allah menjadi makin banyak jumlahnya.
Oleh karena itu, para ahli ilmu kalam telah menyusun seuntai pepatah: lebih baik
tersibukkan dalam tugas-tugas perkawinan daripada dalam ibadah-ibadah sunnah.
Keuntungan lain daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi:
"Doa anak-anak bermanfaat bagi orang tuanya jika orang tuanya itu telah
meninggal, dan anak-anak yang meninggal sebelum orang tuanya akan memintakan
ampun bagi mereka di Hari Pengadilan." Sabda Nabi pula: "Ketika
seorang anak diperintahkan untuk masuk surga, dia menangis dan berkata,
"Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu saya." Juga, suatu hari
Nabi dengan keras menarik lengan baki seseorang ke arah dirinya sambil
bersabda, "Demikianlah anak-anak akan menarik orang tuanya ke surga."
Beliau menambahkan, "Anak-anak berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang
surga dan menjerit memanggil ayah dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada
di luar diperintahkan untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka."
Diriwayatkan
dari seorang Wali yang termasyhur bahwa suatu kali ia bermimpi bahwa Hari
Pengadilan telah tiba. Matahari telah mendekat ke bumi dan orang-orang mati
karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi mereka air
dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang Wali meminta air, ia
ditolak, dan salah seorang anak itu berkata kepadanya, "Tidak salah
seorang pun di antara kami ini anak-anak anda." Segera setelah sang Wali
bangun ia berencana untuk kawin.
Keuntungan
lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap baik terhadap
istri adalah suatu perbuatan yang memberikan rasa santai kepada pikiran setelah
asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Dan setelah santai seperti itu
seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat baru. Demikianlah Nabi saw.
sendiri, ketika merasakan beban turunnya wahyu menekan terlalu berat atasnya,
ia menyentuh istrinya Aisyah dan berkata: "Berbicaralah padaku wahai
'Aisyah, berbicaralah padaku!" Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan
kemanusiaan yang hangat itu bisa mendapatkan kekuatan untuk menerima
wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama ia biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan
azan dan kadang-kadang ia juga membaui wawangian yang harum. Salah satu
haditsnya yang terkenal adalah: "Saya mencintai tiga hal di dunia ini:
wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan shalat." Suatu kali Umar
bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia
ini. Beliau saw. menjawab: "Lidah yang selalu berzikir kepada Allah, hati
yang penuh rasa syukur dan istri yang amanat."
Keuntungan
lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara rumah, memasak
makanan, mencuci piring, menyapu lantai dan sebagainya. Jika seoran glaki-laki
sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari ilmu,
menjalankan perdagangannya atau melakukan ibadah-ibadahnya dengan sepatutnya.
Untuk alasan ini Abu Sulaiman berkata: "Istri yang baik bukan saja rahmat
di dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan waktu senggang
kepada suaminya untuk berpikir tentang akhirat." Dan salah satu di antara
ucapan Khalifah Umar adalah: "Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa
menyamai istri yang baik."
Tambahan
lagi, perkawinan masih memiliki keuntungan yang lain, yaitu bersikap sabar
dengan tetek-bengek kewanitaan - memberikan kebutuhan-kebutuhan istri dan
menjaga mereka agar tetap berada di jalan hukum - adalah suatu bagian yang amat
penting dari agama. Nabi saw. bersabda; "Memberi nafkah kepada istri lebih
penting daripada memberi sedekah."
Suatu
kali, ketika Ibnu Mubarak sedang berpidato di hadapan orang-orang kafir, salah
seorang sahabatnya bertanya kepadanya: "Adakah pekerjaan lain yang lebih
memberikan ganjaran daripada jihad?" "Ya," jawabnya, "Yaitu
memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya."
Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata: "Lebih baik bagi seseorang
untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri." Di dalam
hadits diriwayatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan menanggung
beban keluarga.
Berkenaan
dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan ia tak bermaksud
kawin lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu
akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan pikirannya di dalam uzlah.
Pada suatu malam ia melihat dalam mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah
malaikat turun, lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya:
"Inikah orang yang celaka yang egois itu?" dan rekan-rekannya
menjawab: "Ya, inilah dia." Wali itu sedemikian terperangahnya
sehingga tidak sempat bertanya tentang siapakah yang mereka maksud. Tetapi
tiba-tiba seorang anak laki-laki lewat dan ia pun bertanya kepadanya.
"Andalah yang sedang mereka bicarakan," jawab sang anak, "baru
minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat di surga bersama dengan
wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapuskan nama anda dari
buku catatan itu." Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, dia
pun segera membuat rencana untuk kawin. Dari semua hal di atas, tampak bahwa
perkawinan memang diinginkan.
Sekarang
akan kita bicarakan kerugian-kerugian perkawinan. Salah satu di antaranya
adalah adanya suatu bahaya, khususnya di masa sekarang ini, bahwa seorang
laki-laki mesti mencari nafkah dengan sarana-sarana yang haram untuk menghidupi
keluarganya, padahal tidak ada perbuatan-perbuatan baik yang bisa menebus dosa
ini. Nabi saw. bersabda bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang
membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan menempatkannya di dekat
Mizan. Kemudian ia ditanya; "Dengan cara bagaimana engkau menghidupi
keluargamu?" Ia tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua
perbuatan baiknya pun akan dihapuskan dan suatu pernyataan akan dikeluarkan
berkenaan dengannya: "Inilah orang yang keluarganya telah menelan semua
perbuatan baiknya!"
Kerugian
lain dari perkawinan adalah bahwa memperlakukan keluarga dengan baik dan sabar
dan menyelesaikan masalah-masalah mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar jika seorang laki-laki
memperlakukan keluarganya dengan kasar atau mengabaikan mereka, sehingga
menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri. Nabi saw. bersabda: "Seseorang yang
meninggalkan istri dan anak-anaknya adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia
kembali kepada mereka, puasa dan shalatnya tidak akan diterima oleh
Allah." Ringkasnya, manusia memiliki sifat-sifat rendah, dan sebelum ia
bisa mengendalikan sifatnya itu, lebih baik ia tidak memikul tanggungjawab
utnuk mengendalikan orang lain. Seseorang bertanya kepada Wali Bisyr Hafi,
kenapa ia tidak kawin. "Saya takut," ia menjawab, "akan ayat al-Qur'an:
'hak-hak wanita atas laki-laki persis sama dengan hak-hak laki-laki atas
wanita'."
Kerugian
ketiga dari perkawinan adalah bahwa mengurus sebuah keluarga seringkali
menghalangi seseorang dari memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat.
Dan boleh jadi, kecuali kalau ia berhati-hati, hal itu akan menyeretnya kepada
kehancuran, karena Allah telah berfirman: "Janganlah istri-istri dan
anak-anakmu memalingkanmu dari mengingat Allah." Orang yang berpikir,
bahwa dengan tidak kawin ia bisa memusatkan perhatiannya lebih baik pada
kewajiban-kewajiban keagamaannya, lebih baik ia tetap sendirian; dan
orang-orang yang takut untuk terjatuh ke dalam dosa jika ia tidak kawin, lebih
baik ia kawin.
Sekarang
kita sampai pada sifat-sifat yang mesti dicari dalam diri seorang istri.
Pertama, yang paling penting di antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika
seseorang mempunyai istri yang berakhlak tidak-baik dan ia tetap diam, ia
mendapatkan nama jelek dan terhambat kehidupan keagamaannya. Jika ia angkat
bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia ceraikan istrinya, ia akan
menderita kepedihan perpisahan. Seorang istri yang cantik tapi berakhlak buruk
adalah bencana yang sedemikian besar, sehingga lebih baik bagi suaminya untuk
menceraikannya. Nabi saw. bersabda; "Orang yang mencari istri demi
kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya."
Sifat
baik kedua dalam diri seorang istri adalah tabiat yang baik. Istri yang
bertabiat buruk - tidak berterima kasih, suka bergunjing atau angkuh - membuat
hidup tak tertanggungkan dan merupakan halangan besar untuk menjalin kehidupan
takwa.
Sifat
ketiga yang harus dicari adalah kecantikan, karena hal ini akan menimbulkan
cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, seseorang mesti melihat seorang wanita
sebelum mengawininya. Nabi saw. bersabda; "Wanita-wanita dari suku ini dan
itu memiliki cacat di mata-mata mereka. Seorang yang ingin mengawini seseorang
di antara mereka mesti melihatnya dulu." Orang bijak berkata bahwa
seseorang yang mengawini seorang wanita tanpa melihatnya lebih dulu, pasti akan
menyesal kelak. Memang benar bahwa seseorang tidak seharusnya kawin demi
kecantikan, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kecantikan mseti dianggap tidak
penting sama sekali.
Hal
penting keempat tentang seorang istri adalah bahwa besarnya mahar dibayarkan
oleh seorang laki-laki kepada istrinya mesti dalam jumlah pertengahan. Nabi
saw. bersabda: "Wanita yang paling baik untuk diperistri adalah yang
maharnya kecil dan nilai kecantikannya besar." Beliau sendiri memberi
mahar kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar
putri-putri beliau sendiri tidak lebih daripada empat ratus dirham.
Sifat-sifat
lain yang harus dimiliki seorang istri yang baik adalah: berasal dari keturunan
baik-baik, belum kawin sebelumnya dan tidak terlalu dekat dalam hubungan
kekeluargaan dengan suaminya.
Hal-hal yang Harus Dikerjakan
dalam Perkawinan
Pertama; karena
perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara
keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tidak
lebih baik daripada pertemuan antar hewan. Syariat memerintahkan agar
diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf
merayakan perkawinannya Nabi saw. berkata kepadanya: "Buatlah suatu pesta
perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing." Ketika Nabi saw.
sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta
perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan
sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia
adalah mahkota penciptaan.
Kedua;
seorang suami istri mesti terus bersikap baik terhadap istrinya. Hal ini tidak
berarti bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung
dengan sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh istrinya, baik itu
karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap tidak-berterimakasihnya.
Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan perlindungan; karenanya ia mesti
diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw. bersabda:
"Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan oleh
istrinya dengan penuh kesabaran akan memperoleh pahala sebesar yang diterima
oleh Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya."
Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw. bersabda:
"Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka
adalah tawanan-tawananmu." Beliau sendiri selalu menanggung dengan sabar
tingkah laku istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, ia
berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah tajam, berani kau
menjawabku?" Istrinya menjawab, "Ya, penghulu para nabi lebih baik
daripadamu, sedangkan istri-istrinya saja mendebatnya." Ia menjawab:
"Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak
merendahkan dirinya sendiri." Dan ketika ia berjumpa Hafshah, ia berkata,
"Awas, kau jangan mendebat Rasul." Nabi saw. juga berkata: "Yang
terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri,
dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku."
Ketiga;
seorang suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan
kesenangan-kesenangan istrinya dan tidak mencoba menghalanginya. Nabi saw.
sendiri pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya, 'Aisyah. Pada
kali pertama Nabi saw. mengalahkan 'Aisyah dan pada kali kedua, 'Aisyah
mengalahkannya. Di waktu lain, beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat
beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah untuk menemukan
seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istri-istrinya seperti yang
dilakukan Nabi saw. Orang-orang bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang
dengan tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa
yang tidak tersedia." Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar
istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang
nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya,
melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi sekadar bahan
tertawaan saja. Dalam al-Qur'an tertulis: "Laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita," dan Nabi saw. berkata: "Celakalah laki-laki yang menjadi
budak istrinya." Seharusnya istrinyalah yang menjadi pelayannya.
Orang-orang bijak berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan berbuatlah
yang bertentangan dengan apa yang mereka nasehatkan." Memang ada suatu
sikap suka melawan dalam diri wanita; dan jika mereka diizinkan meskipun
sedikit, mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah untuk
mengembalikannya kepada sikap yang baik. Dalam urusan dengan mereka, seseorang
mesti berusaha menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih sayang
dengan kasih sayang sebagai bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata:
"Wanita diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika kaucoba
meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau biarkan demikian, ia akan tetap
bengkok. Karena itu perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang."
Keempat; dalam
hal pelanggaran susila, seorang suami harus sangat berhati-hati agar tidak
membiarkan istrinya dipandang atau memandang seorang asing, karena awal dari
seluruh kerusakan itu adalah dari mata. Sebisa-bisanya jangan izinkan ia untuk
keluar rumah, berdiri di loteng rumah atau berdiri di pintu. Meskipun demikian,
anda mesti hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan dan bersikap terlalu
ketat. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fathimah: "Apakah
yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab: "Mereka tidak boleh menemui
orang-orang asing, tidak pula orang-orang asing boleh menemui mereka."
Nabi saw. senang mendengar jawaban ini dan memeluknya seraya berkata;
"Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari hatiku." Amirul Mu'minin
Umar berkata: "Jangan memberi wanita pakaian-pakaian yang baik, karena
segera setelah mereka mengenakannya mereka berkeinginan untuk keluar
rumah." Pada masa hidup Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan
tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara bertahap hal ini dilarang.
Kelima;
seorang suami mesti memberi nafkah secukupnya kepada istrinya dan tidak
bersifat kikir kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada istri lebih
baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: "Misalkan seorang
laki-laki menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar lagi untuk menebus
seorang buda, satu dinar lagi untuk sedekah dan memberikan satu dinar juga
kepada istrinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah pahala
ketiga pemberian lainnya."
Keenam;
seorang suami tidak boleh makan sesuatu yang lezat sendirian; atau kalaupun ia
telah memakannya, ia mesti diam dan tidak memujinya di depan istrinya. Jika
tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk makan bersama,
karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan hal itu, Allah
menurunkan rahmatNya atas mereka dan para malaikat pun berdoa untuk mereka."
Hal yang paling penting adalah bahwa nafkah yang diberikan kepada istri itu
harus didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika
istri bersikap memberontak dan tidak taat, pertama sekali suami mesti
menasehatinya dengan lemah lembut. Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti
tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil,
maka suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula terlalu keras
hingga bisa melukainya. Jika istri lalai dalam tugas-tugas keagamaannya, suami
mesti menunjukkan sikap tidak senang kepadanya selama sebulan penuh,
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.
Selalulah
bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena, meskipun perceraian
diizinkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai saja sudah mengakibatkan
penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana bisa dibenarkan seseorang
menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali dilakukan, maka ucapan
itu tidak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus pada tiga waktu yang
berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baik-baik, tidak dengan kemarahan
ataupun penghinaan, tidak pula tanpa alasan. Setelah perceraian, seorang
laki-laki mesti memberikan pemberian (mut'ah) kepada bekas istrinya, dan tidak
menceritakan kepada orang lain alasan-alasan atau kesalahan-kesalahan yang
dilakukan istrinya sehingga mereka bercerai. Dari seorang suami yang hendak
menceraikan istrinya, diriwayatkan bahwa orang-orang bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau menceraikannya?" Ia menjawab: "Saya tak akan
membongkar rahasia-rahasia istri saya." Ketika akhirnya ia benar-benar
menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata; "Dia sekarang orang asing
bagiku; saya tidak lagi berurusan dengan soal-soal pribadinya."
Sejauh
ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya, tetapi hak-hak suami atas
istrinya lebih mengikat lagi. Nabi saw. bersabda: "Jika saja dibolehkan
untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar para istri
menyembah suami-suami mereka."
Seorang
istri tidak boleh menggembar-gemborkan kecantikannya di depan suaminya, tidak
boleh membalas kebaikan sang suami dengan perasaan tidak terima kasih. Istri
tidak boleh berkata kepada suaminya: "Kenapa kauperlakukan aku begini dan
begitu?" Nabi saw. bersabda: "Aku melihat ke dalam neraka dan
menampak banyak wanita di sana. Kutanyakan sebab-sebabnya dan mendapat jawaban,
karena mereka berlaku tidak baik kepada suami-suami mereka dan tidak berterima
kasih kepadanya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar